Sebagian ulama Mazhab Hanbali berpendapat sama dengan
sebagian ulama Mazhab Hanafi, yakni bahwa pada dasarnya hukum bagi istimna
adalah haram. Namun, apabila tidak melakukan istimna akan mengakibatkan zina,
maka hukum melakukan istimna’ itu boleh (mubah).
Apabila seseorang takut bahwa kondisi kesehatan fisiknya
terganggu, atau konsentrasinya dalam berpikir menjadi buyar jika melakukan
masturbasi, maka melakukan masturbasi diperbolehkan baginya. Ulama Mazhab
Hanafi ini berdalil dengan surah Al An‘am (6) ayat 119: "...padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu."
Ayat tersebut tidak mengemukakan secara terperinci tentang masalah
masturbasi, tetapi hanya menyampaikan bahwa Allah SWT telah menjelaskannya.
Karena itu, ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali berkesimpulan bahwa
kebolehan melakukan masturbasi lebih besar kemungkinannya daripada
pengharamannya.
Menurut dua pendapat terakhir di atas, melakukan masturbasi
dibolehkan dalam masalah yang sangat mendesak, dengan syarat harus dibatasi
sesuai dengan kebutuhan (tidak melebihi kebutuhan). Jika masturbasi dilakukan
secara berlebihan, maka kondisifisikdan kesehatan orang yang bersangkutan bisa
terganggu.
Ibnu Hazm (salah seorang tokoh Mazhab az- Zahiri) berpendapat
bahwa hukum bagi praktek masturbasi adalah makruh, dan masturbasi tidak akan
menjerumuskan orang pada dosa. Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT
surah Baqarah (2) ayat 29: "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu...”
Jadi, ia memandang makruh saja mencari kesenangan dengan melakukan
masturbasi karena untuk melakukannya tidak dilibatkan orang lain. Secara umum
Allah SWT telah menciptakan semua itu untuk manusia sesuai dengan fitrahnya.
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi Muhammad SAW) membolehkan
masturbasi karena orang Islam dahulu sering kali melakukannya sewaktu mengikuti
peperangan (jauh dari keluarga). Bahkan Mujahid (seorang ahli tafsir, murid
Ibnu Abbas) berkata bahwa Nabi Muhammad SAW mentoleransi para pemuda Islam
melakukan masturbasi pada waktu itu.
Agar boleh melakukan masturbasi di sini tidak salah diartikan,
maka kebolehan itu hanya berlaku dalam kondisi yang sangat mendesak, dan tidak
boleh dilakukan secara berlebihan karena dapat mengakibatkan sanggunya
kesehatan jasmani dan mental orang yang melakukannya.
Lebih lanjut, Mujahid mengatakan bahwa masturbasi bisa
mengakibatkan potensi kelamin seseorang melemah di saat ia telah menikah,
selain berpengaruh terhadap ketahanan ejakulasinya yang dikhawatirkan dapat
merusak keharmonisan dalam berumah tangga.
0 comments:
Post a Comment