Hari ini, 525 tahun yang lalu. Muslim Spanyol di Granada
ketakutan. Terbayang kengerian yang akan terjadi sesaat lagi. Pasukan Salib
yang telah menaklukkan kota itu, pasti tidak akan membiarkan mereka hidup.
Apalagi berita kebengisan Pasukan Salib sudah menyebar dari mulut ke mulut.
Mereka kerap membantai kaum muslimin; tidak peduli muda atau tua, laki-laki
atau wanita, dewasa maupun remaja, bahkan balita.
Itulah yang mereka dengar, dan demikianlah faktanya. Pasukan Salib seakan haus darah kaum muslimin. Sehingga ketika mereka memenangkan peperangan, masjid-masjid pun digenangi darah kaum muslimin. Padahal kaum muslimin itu bukan tentara. Tidak terlibat perang.
Namun perasaan takut kaum muslimin seketika bercampur dengan kaget dan secercah harapan. "Wahai para muslim Granada, kalian boleh hidup aman di luar Spanyol. Maka keluarlah kalian. Silahkan berlayar dan tinggalkan kota ini!" demikian inti pengumuman yang dikeluarkan oleh Pasukan Salib.
Semula banyak kaum muslimin yang ragu akan pengumuman itu. Namun keinginan mereka untuk hidup dalam Islam mendorong mereka untuk keluar dari persembunyiannya. Mereka berharap, meski terusir dari tanah air tanpa membawa apa-apa, mereka bisa hidup bersama anak-anak yang akan meneruskan agama mulia yang dianutnya. Satu per satu mereka keluar menuju pelabuhan.
Memang benar. Di pelabuhan sudah menanti kapal yang akan mengangkut mereka berlayar keluar Spanyol. Ribuan muslim dalam kapal yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak itu mulai cerah wajahnya. Ada harapan hidup. Namun, harapan ini segera sirna. Jerit histeris anak-anak memenuhi kapal. Tangis para wanita muslimah melipatgandakan kesedihan yang bercampur takut, amarah, dan kebingungan. Kapal itu dibakar! Dibakar oleh pasukan Salib. Ternyata semua sudah direncanakan.
Maka bersamaan dengan terbakarnya kapal, mulailah puing-puingnya jatuh memenuhi laut, wanita dan anak-anak pun terpanggang. Tidak butuh waktu lama kapal itu segera tenggelam. Mereka yang sempat selamat dari kobaran api dan hendak lari, disambut dengan sabetan pedang pasukan Salib. Laut pun berubah warna menjadi merah kehitam-hitaman. Menjadi saksi putusnya sebuah generasi muslim di sebuah negeri.
1 April 1487. Hari itu kemudian dikenal dengan nama "The April Fool Day". Seiring bergulirnya waktu, hari itu disamarkan dan dikenang dengan sebutan April Mop. Demi mengabadikan kemenangan licik itu, April Mop diperingati dengan "ritual" boleh mengerjai, menipu dan menjahili orang lain pada tanggal ini. Dan orang yang dikerjai, tidak boleh marah.
Meskipun tidak sepopuler Hari Valentin, April Mop ternyata juga banyak diikuti oleh remaja Islam kita. Ia juga dirayakan oleh berbagai kalangan dengan "mengerjai" orang lain, termasuk keluarga atau customernya.
Seperti kata Ibnu Khaldun, bangsa yang dikalahkan banyak mengekor bangsa yang mengalahkannya. Banyak hal dari luar Islam yang kini ditiru begitu saja oleh umat Islam, khususnya para remajanya. Termasuk April Mop. Mereka tidak tahu, saat mereka ikut-ikutan merayakan, sesungguhnya mereka tengah merayakan pembantaian atas saudara-saudaranya; yang kebanyakan korbannya seusia ibu-ibu kita. Merayakan April Mop berarti merayakan kekalahan kita, sekaligus merayakan kemenangan musuh kita.
Rasulullah bahkan memperingatkan bahwa setiap tradisi non muslim –khususnya yang berkaitan dengan ritus- merupakan unsur magnetis yang membuat kita bisa terafiliasi dalam hakikat entitas mereka. "Man tasyabbaha bi qaumin, fa huwa minhum" Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka termasuk golongan mereka. Maka apakah kau turut merayakan April Mop? Semoga jawabannya tegas: "Tidak!"
Itulah yang mereka dengar, dan demikianlah faktanya. Pasukan Salib seakan haus darah kaum muslimin. Sehingga ketika mereka memenangkan peperangan, masjid-masjid pun digenangi darah kaum muslimin. Padahal kaum muslimin itu bukan tentara. Tidak terlibat perang.
Namun perasaan takut kaum muslimin seketika bercampur dengan kaget dan secercah harapan. "Wahai para muslim Granada, kalian boleh hidup aman di luar Spanyol. Maka keluarlah kalian. Silahkan berlayar dan tinggalkan kota ini!" demikian inti pengumuman yang dikeluarkan oleh Pasukan Salib.
Semula banyak kaum muslimin yang ragu akan pengumuman itu. Namun keinginan mereka untuk hidup dalam Islam mendorong mereka untuk keluar dari persembunyiannya. Mereka berharap, meski terusir dari tanah air tanpa membawa apa-apa, mereka bisa hidup bersama anak-anak yang akan meneruskan agama mulia yang dianutnya. Satu per satu mereka keluar menuju pelabuhan.
Memang benar. Di pelabuhan sudah menanti kapal yang akan mengangkut mereka berlayar keluar Spanyol. Ribuan muslim dalam kapal yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak itu mulai cerah wajahnya. Ada harapan hidup. Namun, harapan ini segera sirna. Jerit histeris anak-anak memenuhi kapal. Tangis para wanita muslimah melipatgandakan kesedihan yang bercampur takut, amarah, dan kebingungan. Kapal itu dibakar! Dibakar oleh pasukan Salib. Ternyata semua sudah direncanakan.
Maka bersamaan dengan terbakarnya kapal, mulailah puing-puingnya jatuh memenuhi laut, wanita dan anak-anak pun terpanggang. Tidak butuh waktu lama kapal itu segera tenggelam. Mereka yang sempat selamat dari kobaran api dan hendak lari, disambut dengan sabetan pedang pasukan Salib. Laut pun berubah warna menjadi merah kehitam-hitaman. Menjadi saksi putusnya sebuah generasi muslim di sebuah negeri.
1 April 1487. Hari itu kemudian dikenal dengan nama "The April Fool Day". Seiring bergulirnya waktu, hari itu disamarkan dan dikenang dengan sebutan April Mop. Demi mengabadikan kemenangan licik itu, April Mop diperingati dengan "ritual" boleh mengerjai, menipu dan menjahili orang lain pada tanggal ini. Dan orang yang dikerjai, tidak boleh marah.
Meskipun tidak sepopuler Hari Valentin, April Mop ternyata juga banyak diikuti oleh remaja Islam kita. Ia juga dirayakan oleh berbagai kalangan dengan "mengerjai" orang lain, termasuk keluarga atau customernya.
Seperti kata Ibnu Khaldun, bangsa yang dikalahkan banyak mengekor bangsa yang mengalahkannya. Banyak hal dari luar Islam yang kini ditiru begitu saja oleh umat Islam, khususnya para remajanya. Termasuk April Mop. Mereka tidak tahu, saat mereka ikut-ikutan merayakan, sesungguhnya mereka tengah merayakan pembantaian atas saudara-saudaranya; yang kebanyakan korbannya seusia ibu-ibu kita. Merayakan April Mop berarti merayakan kekalahan kita, sekaligus merayakan kemenangan musuh kita.
Rasulullah bahkan memperingatkan bahwa setiap tradisi non muslim –khususnya yang berkaitan dengan ritus- merupakan unsur magnetis yang membuat kita bisa terafiliasi dalam hakikat entitas mereka. "Man tasyabbaha bi qaumin, fa huwa minhum" Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka termasuk golongan mereka. Maka apakah kau turut merayakan April Mop? Semoga jawabannya tegas: "Tidak!"
cr. http://www.bersamadakwah.com/2012/04/april-mop-itu-memperingati-pembantaian.html